Jumat, 27 Mei 2011

Sekilas Pencatatan Akuntansi pada Organisasi Nirlaba

Pada dasarnya, praktek akuntansi untuk organisasi nirlaba tidak jauh berbeda dengan organisasi bisnis. Hal ini terlihat jelas bahwa aturan akuntansi organisasi nirlaba diatur sebagai bagian dari Standar Akuntansi Keuangan (SAK) tepatnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 45: Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. jadi, lebih tepatnya yang diatur adalah pelaporannya, teknis akun- tansinya diatur secara mandiri diserahkan kepada entitas masing- masing. Dengan bentuk pelaporan yang sudah diatur dalam PSAK 45, secara tidak langsung pencatatan transaksi akan dibuat oleh entitas mengikuti format laporan yang telah ada.
Prinsipnya, pencatatan transaksi organisasi nirlaba dari penerimaan kas, pengeluaran kas, pembelian, penjualan produk/jasa, penyusutan, dan transaksi reguler lainnya tidak ada perbedaan dengan organisasi bisnis, namun yang membuat berbeda adalah organisasi nirlaba tidak ada pihak yang menjadi pemilik, sehingga tidak ada transaksi yang berhubungan dengan penjualan/perubahan kepemilikan, atau tidak adanya alokasi dana/sumber daya hasil likuidasi (pembubaran organisasi) kepada orang-orang tertentu.
Organisasi nirlaba menghasilkan produk/jasa tidak untuk bertujuan mencari laba, dan seandainya entitas tersebut menghasilkan laba, tidak akan pernah ada transaksi yang berhubungan dengan pembagian laba kepada pendiri atau pihak-pihak yang mengklaim sebagai pemilik.
Secara teknis, pencatatan organisasi nirlaba bisa dilakukan dengan cash basis, accrual basis, maupun modified accrual basis.
Pustaka
Akuntansi Nirlaba Menggunakan Accurate Oleh Dedhy Sulistiawan

Peran Teknologi Informasi Terhadap Dana Bank

Bagi setiap bank, teknologi informasi cukup penting lebih-lebih bagi bank rite!, keberadaannya tidak dapat ditawar lagi, mengingat jaringan operasionalnya yang luas. Di samping itu, bank ritel pada umumnya mempunyai networking kantor yang tersebar dari kota sampai dengan desa-desa di negara kita. Tanpa bantuan teknologi informasi, bank akan mengalami banyak hambatan, antara lain kecepatan laporan menjadi lambat dan tidak akurat dan pelayanan serta informasi akan menjadi kurang cepat. Apalagi bank ritel dikenal mempunyai jumlah tenaga kerja yang banyak sehingga perlu dibantu dengan modernisasi teknologi yang andal. Untuk itu, diperlukan peralatan elektronik berupa hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak) dengan bantuan tenaga konsultan yang berpengalaman baik di tingkat nasional maupun internasional. Masalahnya, untuk dapat menerapkan sistem teknologi informasi itu diperlukan dana yang besar.
Untuk memodernisasi teknologi secara integrated system on line in the real time tersebut. Direksi bank dihadapkan dengan adanya tantangan (challenging), dengan beberapa pertimbangan demi memajukan servis bank dan nama image bank serta tingkat persaingan bank yang semakin ketat, diperlukan anggaran (budget) dana yang besar. Produk-produk consumer banking diperlukan dalam rangka mengembangkan peluang bank, misalnya mengembangkan aliansi dengan bank lain, seperti ATM sharing, menambah outlet berupa ATM, ATM bersama, payment point, phone banking, mobile banking, RTGS (Real Time Gross Settlement).
Kecanggihan peralatan-peralatan komputerisasi itu tidak akan dapat dijalankanidioperasikan tanpa menggunakan tenaga pegawai/staf yang telah terlatih melalui training khusus dan telah mengikuti seminar- seminar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Peralatan itu merupakan peralatan buatan pabrik dari luar negeri (misalnya Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Korea) dan setiap saat kecanggihannya selalu atau sering berubah karena produk-produk baru yang lebih canggih dengan kualitas baik dan efisien.
Agar pelayanan bank dengan menggunakan teknologi maju diper- hitungkan oleh pesaing, diperlukan dana khusus untuk menyewa transfonder (satelit) tersendiri, seperti yang dilakukan oleh Bank BCA. Dalam perkembangannya bank ritel dituntut untuk meningkatkan fungsi intermediasi dengan menyalurkan kredit kecii. Namun, oleh karena kecenderungan bunga SBI menurun, akibatnya bank juga diharapkan menurunkan suku bunga pinjamannya. Apabila hal ini terjadi, pendapatan bank tentu akan berkurang. Padahal over head bagi bank ritel dengan jumlah karyawan yang banyak alcan meningkatkan biaya karyawan.
Olch karena itu, pemimpin bank harus berupaya mencari inovasi, misalnya dengan mencari terobosan seperti melakukan usaha side income berupa fee based income. Upaya ml antara lain dilakukan dengan cara memperkenalkan produk-produk baru berteknologi canggih, seperti Credit Card, Debit Card, ATM sharing dengan bank-bank lain dengan memungut biaya, Phone Banking Payment Point, dan sebagainya. Di samping itu, bank juga meningkatkan pelayanan transfer (pengiriman uang) balk domestik maupun luar negeri dengan memungut biaya administrasi. Usaha pelryanan perbankan di bidang ekspor impor juga merupalcan fee based in, ome yang harus digali dan ditinglcatkan.
Bank yang dapat memanfaatkan kemampuannya di bidang teknologi informasi secara tepat dan dapat memuaskan nasabahnya dengan pela-yanan yang cepat, contohnya adalah BCA. Cara bisnisnya adalah payment system (fasilitas, pembayaran transaksi keuangan). Jadi, dapat dibayangkan bilamana cara ini dapat dilakukan oleh bank-bank lain, penghasilan tersebut akan sangat membantu kincrja bank yang bersangkutan. Dengan demikian, bank tersebut diharapkan akan menjadi bank sehat/sukses.
Kemajuan teknologi semakin memudahkan masyarakat modern dalam melakukan transaksi perbankan. Di antaranya melalui phone banking (fix dan mobile), ATM, kartu debit, dan Internet banking.
Automatic Teller Machine (ATM), kartu debit, internet banking, hingga mobile banking banyak mengubah wajah dunia perbankan. Awal, orang enggan memanfaatkan apa yang disebut electronic banking ini.
Sekarang bukan jamannya lagi nasabah bank antri di depan kasir. Hampir semua transaksi perbankan kini dapat dilakukan tanpa berhadap-hadapan muka. Hanya dengan bantuan perangkat elektronik semuanya terselesaikan. Ada ATM, kartu debit, telepon, handphonehingga Internet.
Katakan saja, nasabah dengan mudah dapat melakukan transaksi perbankan hanya dari tempat tidur. Pagi-pagi bangun, duduk di pinggir kasur; kucek-kucek mata, ambit telepon seluler, pencet sana pencet sini, sekejap saat itu juga jutaan rupiah sudah meluncur dari rekening sate ke rekening yang lain. Lalu, kirim pesan pendek atau menelepon ke rekanan yang dituju “Gue sudah transfer uangnya”. Selesai!
Transfer uang melalui telepon genggam atau yang sekarang lazim disebut mobile banking memang sangat fleksibel, tidak tergantung waktu dan tempat. Dapat dilakukan saat berada di mana pun serta beroperasi 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Uang terkirim dan diterima saat itu juga.
Perkembangan pesat apa yang disebut electronic banking (e-banking, perbankan elektronik) dimulai sejak mesin ATM diperkenalkan pada pertengahan 1980-an. Adalah Bank Niaga yang pertama kali memakai ATM. Disusul BCA yang juga mengembangkan jaringan mesin ajaib ini. Kemudian juga bank-bank lain.
Awalnya orang awam menggunakan ATM ragu-ragu. Aman atau tidak ya? Bisa keluar dengan jumlah persis seperti yang diminta atau tidak? Uang di rekening bcrkurangkah tanpa diminta? Banyak pihak belum melirik keandalan mesin ini. Bahkan ada pula yang mencemooh.
ATM membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk diterima masyarakat. “Nasabah baru terbiasa menggunakan ATM sekitar 10 tahun kemudian,” kata Ina Suwandi. Wakil Kepala Divisi Perbankan Konsumer BCA. Pada saat itulah ATM berkembang pesat. Mesin kasir otomatis ini sudah dengan mudah dapat ditemui di mana-mana. Jaringannya semakin luas. Nasabah semakin akrab dengan ATM. “Diperlukan edukasi nasabah yang terus menerus,” ujar Ina.
Pertama kali ATM dikembangkan karena munculnya keperluan alternatif transaksi selain di kantor cabang bank. “Saat itu dirasakan ada kebutuhan untuk layanan transaksi perbankan yang tidak hanya di cabang saja,” kata Yuli Rahmaasih, Electronic Delivery Networking and Customer Educating Division Head, Bank Niaga.
Fitur-fitur layanan ATM pun semakin beragam dan lengkap, tidak hanya mengambil uang tunai semata. Transfer antar rekening dalam bank yang sama dapat dilakukan melalui ATM. Belakangan bisa transfer antarbank. Bank Niaga dan bank-bank lain mengembangkan jaringan ATM Bersama Artajasa yang mencapai 7.500-an ATM di seluruh Indonesia. Nasabah masing-masing bank yang bergabung mendapat kemudahan-kemudahan untuk tank tunai, informasi saldo, dan transfer antarbank anggota ATM Bersama secara on-line real time.
Pustaka
Bank Strategy on Funding and Liability Oleh Soetanto Hadinoto

Penghasilan dan Beban Berdasarkan Konsep Akuntansi

Menurut konsep akuntansi, penghasilan (income) adalah penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi pendapatan (revenues) dan keuntungan (gains). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, deviden, royalti, dan sewa. Pendapatan timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi seperti tersebut di bawah ini.
a.Penjualan barang
Barang yang dimaksud adalah meliputi barang yang diproduksi oleh perusahaan untuk dijual dan barang yang dibeli untuk dijual kembali.
b. Penjualan jasa
Penjualan jasa biasanya menyangkut pelakasanaan tugas yang secara kontraktual telah disepakati untuk dilaksanakan selama suatu periode waktu yang disepakati oleh perusahaan. Jasa tersebut dapat diserahkan selama satu periode atau selama lebih dari satu periode.
c. Penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan deviden.
Bunga, merupakan pembebanan untuk penggunaan kas atau setara kas atau jumlah terutang kepada perusahaan.
Royalti, merupakan pembebanan untuk penggunaan aktiva jangka panjang perusahaan misalnya paten, merek dagang, hak cipta, dan perangkat lunak komputer.
Deviden, merupakan distribusi laba kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi mereka dari jenis modal ter tentu.
Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. Jumlah pendapatan yang timbul dari suatu transaksi biasanya ditentukan oleh persetujuan antara perusahaan dan pembeli atau pemakai aktiva tersebut. Pada umumnya imbalan tersebut adalah berbentuk kas atau setara kas.
Berdasarakan konsep akuntansi, beban adalah semua pengurang terhadap penghasilan. Sehubungan dengan periode akuntansi pemanfaatan pengeluaran dipisahkan antara pengeluaran kapital (capital expenditure) yaitu pengeluaran yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan dicatat sebagai aktiva, sedangkan pengeluaran penghasilan (revenue expenditure) yaitu pengeluaran yang hanya memberi manfaat untuk satu periode akuntansi yang bersangkutan yang dicatat sebagai beban.
Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang menyebabkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.
Beban juga mencakup kerugian yang belum direalisasi, misalnya kerugian yang timbul dari pengaruh selisih kurs mata uang asing. Beban diakui dalam laporan laba rugi atas dasar hubungan langsung antara beban yang timbul dan penghasilan ten tentu yang diperoleh.
Kalau manfaat ekonomi yang timbul lebih baik dari satu periode akuntansi dan hubungannya dengan penghasilan hanya dapat ditentukan secara luas atau tidak langsung maka beban diakui berdasarkan alokasi yang rasional dan sistematis. Misalnya pengakuan beban yang berkaitan dengan penggunaan aktiva tetap, goodwill, paten dan merk dagang. Beban ini dikenal dengan istilah penyusutan atau amortisasi.
Pustaka
SPD: Akuntansi Utk Bisnis Ush Kcl & Mngh Oleh Abubakar A & Wibowo

Masalah Standar Audit Pemerintah RI dan USA

Perumusan auditing standards yang dilakukan oleh The Comptroller General of the United State adalah sebagai berikut : this statement contains standards for audits of goverment organizations, programs activities, and functions, and of government funds received by contractors, non profit organizations, and other nongovernment organizations. The standards are to be followed by auditors and audit organizations, when required by law, regulation, agreement or contact, or policy. The standards pertain to the auditor’s professional qualifications, the quality of audit effort, and the characteristics of professional and meaningful audit report.
Sedangkan perumusan menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah sebagai berikut : standar audit yang dapat digunakan secara nasional sudah merupakan kebutuhan yang mendesak dalam era globalisasi ini. Buku standar audit ini merupakan patokan untuk melakukan audit atas semua kegiatan Pemerintah yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan anggaran tahunan BUMN, dan BUMD, serta kegiatanyayasan yang didirikan oleh Pemerintah, BUMN, dan BUMD, atau badan hukum lain dimana terdapat kepentingan Keuangan Negara atau yang menerima bantuan Pemerintah.
Standar audit ini memuat persyaratan profesional auditor, mutu pelaksanaan audit, dan persyaratan laporan audit yang profesional dan berbobot. Standar audit ini selanjutnya disebut Standar Audit Pemerintahan (SAP), yang wajib ditaati oleh semua auditor dan lembaga pengawasan fungsional, baik intern maupun ekstern Pemerintah, yang memperoleh kewenangan berdasarkan undangundang, peraturan perundangan lainnya, surat perjanjian kerja ataupun kebijakan lainnya.
Maksud & Tujuan
The Comptroller General of United States of America menyatakan bahwa this chapter describes the types of audits that government and nongovernment audit organizations conduct, and that government organizations arrange to have conducted, of government organizations, programs, activities, functions, and funds. This description is not intended to limit or require the types of audits that maybe conducted or arranged. In conducting these types of audits, auditors should follow the applicable standards included and incorporated in the chapters which follow.
All audits begin with objectives and those objectives determine the type of audit to be conducted and the audit standards to be followed. The types of government audits, as defined by their objectives, are classified in this statement as financial audits or performance audits.
Dibandingkan dengan jenis audit yang dilakukan oleh General Accounting Office (GAO) tersebut di atas, maka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga membuat dua jenis audit yaitu audit keuangan dan audit kinerja.
Audit keuangan meliputi audit atas laporan keuangan dan audit atas hal yang berkaitan dengan keuangan. Audit atas laporan keuangan bertujuan untuk memberikan keyakinan apakah laporan keuangan dari entitas yang diaudit telah menyajikan secara wajar tentang posisi keuangan, hasil operasi/usaha, dan arus kas, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Audit atas laporan keuangan mencakup pula audit atas laporan keuangan yang disusun berdasarkan salah satu dasar akuntansi lain, seperti yang tercantum dalam standar auditing yang dikeluarkan oleh IAI.
Audit atas hal yang berkaitan dengan keuangan, mencakup penentuan, apakah :
(1) informasi keuangan telah disajikan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan;
(2) entitas yang diaudit telah mematuhi persyaratan kepatuhan terhadap peraturan keuangan tertentu, atau
(3) sistem pengendalian intern instansi tersebut, baik terhadap laporan keuangan maupun terhadap pengamanan atas kekayaannya, telah dirancang dan dilaksanakan secara memadai untuk mencapai tujuan pengendalian.
Sedangkan perumusan menurut GAO financial audit include financial statement and financial related audit. Audit kinerja adalah pemeriksaan secara objektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atau program/ kegiatan pemerintah yang diaudit. Dengan audit kinerja ini dimaksudkan untuk dapat meningkatkan tingkat akuntabilitas pemerintah dan memudahkan pengambilan keputusan oleh pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi atau memprakarsai tindakan koreksi.
Audit kinerja mencakup audit tentang ekonomi, efisiensi dan program. Audit tentang ekonomi dan efisiensi, untuk menentukan, apakah :
(1) suatu entitas telah memperoleh, melindungi dan menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, ruang dan peralatan kantor) secara hemat dan efisien ;
(2) penyebab timbulnya ketidak hematan dan ketidak efisienan ;
(3) entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi.
Audit program, mencakup penentuan :
(1) tingkat pencapaian hasil program yang diinginkan atau manfaat yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau badan lain yang berwenang;
(2) efektifitas kegiatan entitas, pelaksanaan program, kegiatan atau fungsi instansi yang bersangkutan;
(3) apakah entitas yang diaudit telah menaati peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program/kegiatannya.
Menurut GAO performance audit include economic and efficiency and program audits.
Standar Umum
Standar umum ini berlaku baik untuk melaksanakan audit keuangan maupun audit kinerja. Standar umum audit berkaitan dengan persyaratan kemampuan/keahlian staff, independensi organisasi/lembaga audit dan auditor secara individual, pelaksanaan kemahiran profesional secara cermat dan seksama, dalam pelaksanaan pekerjaan laporan maupun dalam penyusunan laporan audit, serta adanya pengendalian mutu hasil audit. Standar umum berbeda dengan standar yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan lapangan dan penyusunan laporan yang bersangkutan.
Standar umum ini berlaku bagi semua organisasi/lembaga audit, baik pemerintah maupun non pemerintah (sebagai contoh kantor akuntan publik dan kantor konsultan), yang memperoleh tugas melaksanakan audit atas entitas pemerintah beserta program dan kegiatannya, dan bantuan pemerintah yang diterima oleh organisasi non pemerintah. Standar umum berlaku baik untuk audit keuangan maupun audit kinerja.
Standar umum terdiri dari : Persyaratan kemampuan/keahlian.
Standar umum pertama :
Staff yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara kolektif memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk tugas yang disyaratkan. Sedangkan menurut GAO the staff assigned to conduct the audit should collectively possess adequate professional proficiency for the tasks required.
Standar umum kedua :
Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan audit, organisasi/lembaga audit dan auditor baik pemerintah maupun akuntan publik, harus independen (secara organisasi maupun secara pribadi), bebas dari gangguan independensi yang bersifat pribadi dan yang diluar pribadinya (ekstern), yang dapat mempengaruhi independensinya, serta harus dapat mempertahankan sikapdan penampilan yang independen.
Sedangkan menurut GAO in all matters relating to the audit work, the audit organizations and the individual auditors, whether government or public, should be free from personal and external impairments to independence, should be organizationally independent and should maintain an independent attitude and appearance.
Standar umum ketiga adalah :
Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama.
Sedangkan menurut GAO due professional care should be used in conducting the audit and in preparing related reports.
Standar umum keempat :
Setiap organisasi/lembaga audit yang melaksanakan audit berdasarkan SAP ini harus memiliki sistem pengendalian intern yang memadai, dan sistem pengendalian mutu tersebut harus direview oleh pihak lain yang kompeten (pengendalian mutu ekstern)
Sedangkan menurut GAO audit organizations conducting government audits should have an appropriate internal quality control system in place and participate in an external quality control review program.
Standar umum tersebut diatas berlaku baik untuk audit keuangan maupun untuk audit kinerja baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat.
Pustaka
Teori Akuntansi - Niaga Swadaya

Ikatan Akuntan Indonesia

Ikatan Akuntan Indonesia
Indonesian Institute of Accountants
200px
Logo IAI
Pembentukan 23 Desember 1957

Jenis Organisasi profesi

Kantor pusat Jakarta, Indonesia

Keanggotaan Akuntan

Ketua
Ahmadi Hadibroto

Situs web http://www.iaiglobal.or.id/

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, bahasa Inggris:Indonesian Institute of Accountants) adalah organisasi profesi akuntan di Indonesia. Kantor sekretariatnya terletak di Graha Akuntan, Menteng, Jakarta.
Sejarah
Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956.
Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia saja. Alasannya, mereka tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Institute Van Accountants) atau VAGA (Vereniging Academisch Gevormde Accountants). Mereka menyadari keindonesiaannya dan berpendapat tidak mungkin kedua lembaga itu akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan Indonesia.
Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju.
Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Susunan pengurus pertama terdiri dari:
• Ketua: Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo
• Panitera: Drs. Mr. Go Tie Siem
• Bendahara: Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)
• Komisaris: Dr. Tan Tong Djoe
• Komisaris: Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)
Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah
• Prof. Dr. Abutari
• Tio Po Tjiang
• Tan Eng Oen
• Tang Siu Tjhan
• Liem Kwie Liang
• The Tik Him
Konsep Anggaran Dasar IAI yang pertama diselesaikan pada 15 Mei 1958 dan naskah finalnya selesai pada 19 Oktober 1958. Menteri Kehakiman mengesahkannya pada 11 Februari 1959. Namun demikian, tanggal pendirian IAI ditetapkan pada 23 Desember 1957. Ketika itu, tujuan IAI adalah: 1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan. 2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.
Sejak pendiriannya 49 tahun lalu, kini IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
Ketua
• Ahmadi Hadibroto (2006 s.d. 2010)
Keanggotaan
Anggota IAI dapat dibagi menjadi:
Anggota individu
Anggota individu terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah pemegang gelar akuntan atau sebutan akuntan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan pemegang sertifikat profesi akuntan yang diakui oleh IAI. Anggota luar biasa adalah sarjana ekonomi jurusan akuntansi atau yang serupa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan profesi akuntan. Sedangkan anggota kehormatan adalah warga negara Indonesia yang telah berjasa bagi perkembangan profesi akuntan di Indonesia. Pada saat didirikannya, hanya ada 11 akuntan yang menjadi anggota IAI, yaitu para pendirinya. Dari waktu ke waktu anggota IAI terus bertambah. Para akuntan yang menjadi anggota IAI tersebar diseluruh Indonesia dan menduduki berbagai posisi strategis baik dilingkungan pemerintah maupun swasta. Sejak berdirinya hingga akhir tahun 2007, IAI memiliki 6.606 anggota aktif yang terdiri dari 807 akuntan pendidik, 1.204 akuntan publik, 529 akuntan manajemen 2.975 akuntan pemerintah dan 1.091 akuntan lain-lainnya.
Anggota asosiasi
Sebagaimana keputusan Kongres Luar Biasa IAI pada bulan Mei 2007, selain keanggotaan perorangan IAI juga memiliki keanggotaan berupa Asosiasi, dan pada saat ini IAI telah memiliki satu anggota Asosiasi yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), yang sebelumnya tergabung dalam IAI sebagai Kompartemen Akuntan Publik.
Anggota perusahaan
Perusahaan pengguna jasa profesi akuntan sebagai corporate member. Pada akhir tahun 2007, jumlah corporate member mencapai 72 perusahaan, baik perusahaan terbuka maupun tertutup.
Anggota junior
IAI juga membuka keanggotaan selain para akuntan, yaitu para mahasiswa akuntansi yang tergabung dalam junior member. Keanggotan junior member sampai akhir tahun 2007 mencapai 504 mahasiswa.
Kegiatan
• Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan
• Penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Akuntan Manajemen (Certified Professional Management Accountant)
• Penyelenggaraan Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL)
Kerjasama internasional
Pada skala internasional, IAI aktif dalam keanggotaan International Federation of Accountants (IFAC) sejak tahun 1997. Di tingkat ASEAN IAI menjadi anggota pendiri ASEAN Federation of Accountants (AFA). Keaktifan IAI di AFA pada periode 2006-2007 semakin penting dengan terpilihnya IAI menjadi Presiden dan Sekjen AFA.
Selain kerjasama yang bersifat multilateral, kerjasama yang bersifat bilateral juga telah dijalin oleh IAI diantaranya dengan Malaysian Institute of Accountants (MIA) dan Certified Public Accountant (CPA).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ikatan_Akuntan_Indonesia

Akuntansi pajak di Amerika Serikat

Akuntansi pajak Amerika Serikat mengacu pada akuntansi untuk tujuan pajak di Amerika Serikat. Tidak seperti kebanyakan negara lainnya, Amerika Serikat memiliki seperangkat prinsip akuntansi yang komprehensif untuk keperluan pajak, ditentukan oleh hukum pajak, yang terpisah dan berbeda dari prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Aturan dasar
Internal Revenue Code mengatur penerapan akuntansi pajak. Pasal 446 menentukan aturan dasar untuk akuntansi pajak. Akuntansi pajak menurut pasal 446 (a) menekankan konsistensi untuk metode akuntansi pajak dengan referensi tentang akuntansi keuangan digunakan untuk menentukan metode yang tepat. Jadi pembayar pajak harus memilih metode akuntansi pajak dengan menggunakan metode akuntansi keuangan mereka sebagai titik acuan.
Jenis-jenis metode akuntansi pajak
Metode akuntansi yang tepat yang ditemukan dalam pasal 446 (c) (1) ke (4) yang memungkinkan kas, akrual, dan metode lain yang disetujui oleh IRS termasuk kombinasi.
Setelah memilih metode akuntansi pajak, di bawah bagian 446 (b) Menteri Keuangan memiliki kewenangan yang luas untuk kembali menghitung penghasilan kena pajak dari wajib pajak dengan mengubah metode akuntansi yang akan digunakan oleh pembayar pajak dalam rangka mencerminkan pendapatan pembayar pajak yang sebenarnya.
Jika wajib pajak melakukan lebih dari satu bisnis maka dapat menggunakan metode yang berbeda untuk bisnis masing-masing menurut bagian 446 (d)

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia

Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan fungsi:
• Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang perpajakan.
• Pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan.
• Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang perpajakan.
• Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan.
• Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal.
Sejarah
Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu :
• Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah;
• Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara;
• Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak Badan; dan
• Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter) yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Pada tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB.
Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak (ItDa) yaitu di Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini kemudian menjadi Kanwil Ditjen Pajak (Kantor Wilayah) seperti yang ada sekarang ini.
1924 – Djawatan Padjak dibawah Departemen Van Financien berdasar Staatsblad 1924 No. 576 Artikel 3 1942 – Djawatan Padjak dibawah Zaimubu (Djawatan Padjak, Bea Cukai dan Padjak Hasil Bumi) 1945 – berdasarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD Urusan Bea ditangani Departemen Keuangan Bahagian Padjak 1950 – Djawatan Padjak dibawah Direktur Iuran Negara 1958 – Djawatan Padjak dibawah vertikal langsung Departemen Keuangan 1964 – Djawatan Padjak berubah menjadi Direktorat Pajak dibawah pimpinan Menteri Urusan Pendapatan Negara 1965 – Direktorat IPEDA di bawah Ditjen Moneter 1966 – Direktorat Padjak diubah menjadi Direktorat Jenderal Pajak 1976 – Direktorat IPEDA dialihkan Ke Direktorat Jenderal Pajak 1983 – Tax Reform I berlakunya Self Assesment 1985 – IPEDA berganti nama menjadi Direktorat PBB
2000 – Tax Reform II
2002 – Modernisasi Birokrasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan institusi penting di negara ini dimana saat ini dipercaya mengumpulkan sekitar 80% dari dana APBN, ternyata mempunyai sejarah panjang sejak sebelum proklamasi kemerdekaan RI. Sejarah singkat DJP terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut:
1. Pra Proklamasi Kemerdekaan RI
Pada zaman penjajahan Belanda, tugas pemerintahan dalam bidang moneter dilaksanakan oleh Departemen Van Financien dengan dasar hukumnya yaitu Staatsblad 1924 Number 576, Artikel 3.
Pada masa penguasaan Jepang, Departemen Van Financien diubah namanya menjadi Zaimubu. Djawatan-djawatan yang mengurus penghasilan negara seperti Djawatan Bea Cukai, Djawatan Padjak, serta Djawatan Padjak Hasil Bumi. Ketiganya digabungkan dan berada di bawah seorang pimpinan dengan nama Syusekatjo.
2. Periode 1945-1959
Maklumat Menteri Keuangan Nomor 1 Tanggal 5 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa seluruh Undang-undang atau peraturan tentang perbendaharaan Keuangan Negara, pajak, lelang, bea dan cukai, pengadaan candu dan garam tetap menggunakan Undang-Undang atau peraturan yang ada sebelumnya sampai dengan dikeluarkannya peraturan yang baru dari pemerintah Indonesia. Sedangkan Penetapan Pemerintah tanggal 7 Nopember 1945 No. 2/S.D. memutuskan bahwa urusan bea ditangani Departemen Keuangan Bahagian Padjak mulai tanggal 1 Nopember 1945 sesuai dengan Putusan Menteri Keuangan tanggal 31 Oktober 1945 No. B.01/1. Akhir tahun 1951 Kementerian Keuangan mengadakan perubahan dimana Djawatan Padjak, Djawatan Bea dan Cukai dan Djawatan Padjak Bumi berada dibawah koordinasi Direktur Iuran Negara.
3. Periode 1960-1994
Tahun 1964 Djawatan Padjak diubah menjadi Direktorat Pajak yang berada dibawah pimpinan Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara. Kemudian pada tahun 1966 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 75/U/KEP/11/1966 tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen-Departemen, Direktorat Padjak diubah menjadi Direktorat Djenderal Padjak yang membawahi Sekretariat Direktorat Djenderal, Direktorat Padjak Langsung, Direktorat Padjak Tidak Langsung, Direktorat Perentjanaan dan Pengusutan,dan Direktorat Pembinaan Wilayah.
Daftar Unit Kerja Kantor Pusat dan Unit Vertikal Direktorat Jenderal Pajak
Tahun 1988 Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari satu sekretariat, 6 Direktorat dan 2 Pusat. Kemudian pada tahun 1994 Kantor Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari 1 Sekretariat dan 8 Direktorat. Terakhir pada Desember 2006 berdasarkan PMK 131/PMK.01/2006, susunan organisasi Kantor Pusat DJP berubah kembali,terdiri dari 1 Sekretariat dan 12 Direktorat dan 1 Pusat yang dipimpin pejabat eselon II a yaitu :
1. Sekretariat Direktorat Jenderal,
2. Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan,
3. Direktorat Peraturan Perpajakan I
4. Direktorat Peraturan Perpajakan II,
5. Direktorat Keberatan dan Banding,
6. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian,
7. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan,
8. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat,
9. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan,
10. Direktorat Intelijen dan Penyidikan,
11. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi Informasi,
12. Direktorat Transformasi Proses Bisnis.
13. Direktorat Kepatuhan Internal& Transformasi Sumber Daya Aparatur,
14. Pusat Pengolahan Data dan Dukumen Perpajakan
Selain itu terdapat juga 4 Tenaga Pengkaji, yaitu :
1. Tenaga Pengkaji bidang Pelayanan Perpajakan
2. Tenaga Pengkaji bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Perpajakan
3. Tenaga Pengkaji bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Perpajakan
4. Tenaga Pengkaji bidang Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia
Sedangkan unit kerja vertikal di daerah meliputi Kantor Wilayah DJP, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Saat ini terdapat 31 Kantor Wilayah DJP di seluruh Indonesia, yang dipimpin pejabat eselon II a, yaitu :
1. Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, di Jakarta
2. Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, di Jakarta
3. Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat, di Jakarta
4. Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, di Jakarta
5. Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan, di Jakarta
6. Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur, di Jakarta
7. Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara, di Jakarta
8. Kantor Wilayah DJP Nanggroe Aceh Darussalam, di Banda Aceh
9. Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I, di Medan
10. Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara II, di Pematang Siantar
11. Kantor Wilayah DJP Riau dan Kepulauan Riau, di Pekanbaru
12. Kantor Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi, di Padang
13. Kantor Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, di Palembang
14. Kantor Wilayah DJP Lampung dan Bengkulu, di Bandar Lampung
15. Kantor Wilayah DJP Banten, di Serang
16. Kantor Wilayah DJP Jawa Barat I, di Bandung
17. Kantor Wilayah DJP Jawa Barat II, di Bekasi
18. Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I, di Semarang
19. Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II, di Surakarta
20. Kantor Wilayah DJP DI Yogyakarta, di Yogyakarta
21. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur I, di Surabaya
22. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II, di Sidoarjo
23. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III, di Malang
24. Kantor Wilayah DJP Bali, di Denpasar
25. Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara, di Mataram
26. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat, di Pontianak
27. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah, di Banjarmasin
28. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur, di Balikpapan
29. Kantor Wilayah DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara, di Makassar
30. Kantor Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo dan Maluku Utara, di Manado
31. Kantor Wilayah DJP Papua dan Maluku, di Jayapura
Daftar Direktur Jenderal Pajak
• Abdul Mukti 1945 s.d. 1956 ( Kepala Djawatan Padjak)
• Soerjono Sastrokoesoemo 1956 s.d. 1961 ( Kepala Djawatan Pajak )
• Santoso Brotodihardjo 1961 - 1963 ( Kepala Djawatan Pajak )
• Soeyoedno Brotodihardjo 1963 - 1970
• Sutadi Sukarya 1970 s.d. 1980
• Salamun A.T 1981 s.d. 1988
• Mar'ie Muhammad 1988 s.d. 1993
• Fuad Bawazier 1993 s.d. 1998
• Abdullah Anshari Ritonga 1999 s.d. 2000
• Mahfud Sidik 2000 s.d. 2001
• Hadi Poernomo Februari 2001 s.d. April 2006
• Darmin Nasution April 2006 s.d. Juli 2009
• Mochammad Tjiptardjo Juli 2009 s.d. Januari 2011
• Ahmad Fuad Rahmany Januari 2011 s.d. sekarang

CGI dan Dilema Hutang Luar Negeri

Minggu-minggu terakhir kembali kita diributkan dengan pembahasan mengenai masalah sidang CGI yang akan dilaksanakan pada minggu ini di Paris Perancis. Setiap tahun debat masalah hutang luar negeri selalu muncul pada saat menjelang sidang CGI yang pada dasarnya dikaitkan dengan perhatian dan terutama keberatan masyarakat yang diwakili oleh LSM terhadap kebijakan hutang luar negeri yang tidak pernah absen selama Orde Baru berlangsung dan terus berlanjut hingga pemerintah transisi ini. Tulisan ini mencoba mengupas masalah hutang luar negeri terutama dikaitkan dengan dilema kehadiran dan fungsinya ditengah perekonomian Indonesia yang telah dua tahun terlanda krisis. Krisis ekonomi sendiri memberikan bobot yang sangat berbeda terhadap kehadiran hutang luar ini karena selama dua tahun terakhir terjadi penambahan hutang luar negeri oleh pemerintah yang sangat signifikan akibat diterimanya paket pinjaman IMF sebesar US $ 43 milyar. Posisi hutang luar negeri sebelum krisis sekitar US $ 110 miliar melonjak menjadi US $ 152 miliar pada maret 1999. Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya pengalihan hutang privat ke publik akibat program restrukturisasi perbankan yang rumit dan dengan biaya yang makin membengkak hingga diperkirakan mencapai sekitar Rp 550 triliun.
Berbeda dengan keberatan-keberatan masa sebelum krisis, keberatan terhadap hutang luar dan diadakannya sidang CGI tahun ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah transisi saat sidang dilaksanakan (26-27 Juli 1999) dalam posisi yang bisa dikatakan tidak memiliki otoritas yang diterima rakyat akibat hasil pemilihan umum yang masih menggantung. Keberatan masyarakat juga menjadi makin berarti penting terutama dikaitkan dengan berbagai bukti yang masih sangat segar dalam ingatan selama kampanya pemilu terbukti terjadi penyelewengan penggunaan dana JPS yang didanai oleh hutang luar negeri. Kedua hal ini paling tidak memberikan bobot politis yang sangat nyata bagi perlunya ditinjau kembali kebijakan pemerintah dalam menggunakan dana luar negeri sebagai sumber pendanaan defisit anggarannya.
Terlepas dari aspek politis diatas, persoalan hutang luar negeri Indonesia dari aspek ekonomis sama sekali juga tidak sederhana. Bahkan prediksi dampak krisis terhadap hutang luar negeri kita dan implikasinya terhadap perekonomian menampakkan gambaran yang suram. Krisis ekonomi yang ditandai oleh perubahan yang sangat drastis dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing memberikan dampak yang sangat dahsyat bagi hutang luar negeri Indonesia balk hutang swasta maupun pemerintah. Kondisi ini diper-buruk dengan kenyataan bahwa banyak hutang tersebut digunakan untuk mem-biayai proyek yang berorientasi domestik (non tradable) seperti infrastruktur, properti, dan juga manufaktur berorientasi pasar domestik yang mengandalkan pada penerimaan rupiah sehingga menyebabkan tidak seimbangnya pene-rimaan dengan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan luar negeri. Tingkat keparahan juga ditambah dengan praktek mark-up yang menyebabkan meng-gelembungnya hutang luar negeri secara berlebihan seperti ditunjukkan dengan berbagai kasus yang terbongkar akhir-akhir ini untuk proyek infrastruktur seperti listrik, jalan tol, maupun proyek lainnya.
Nampaknya krisis hutang luar negeri bagi Indonesia seperti yang dialami oleh negara-negara Amerika Latin periode 80an sukar dihindarkan. Tandatanda menuju terjadinya krisis hutang luar negeri begitu nyata. Pertama, krisis yang terjadi dikawasan Asia sejak tahun 1997 menyebabkan terjadinya penghentian secara mendadak arus modal dari luar negeri yang selama ini menjadi andalan menutup defisit transaksi berjalan ke negara terkena krisis. Bahkan untuk Indonesia selain terhentinya sumber dana luar negeri , juga terjadi arus modal keluar akibat krisis politik yang menyebabkan kolapsnya keseimbangan neraca pembayaran yang makin memperburuk pelemahan (depresiasi) Rupiah.
Depresiasi Rupiah yang mencapai lebih dari 80% menyebabkan ke-seluruhan perhitungan keseimbangan perekonomian terhadap kewajiban luar negeri menjadi tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan balk oleh rasio Hutang luar negeri terhadap PDB yang melonjak hingga mencapai sekitar 135%, Rasio hutang luar negeri terhadap ekspor sebesar mendekati 300%, dan DSR yang mendekati 60% atau dua kali lipat diandingkan sebelum krisis. Indikator diatas nampak mirip dengan kondisi negara-negara Amerika Latin pada awal dan pertengahan 1980an pada saat krisis hutang luar negeri melanda kawasan
tersebut. Dengan kemiripan tersebut apakah yang mungkin terjadi bagi perekonomian kita, apakah akan mengikuti jejak negara Amerika Latin dalam bentuk terjadinya hiperinflasi dan menyebabkan ‘hilangnya’ kawasan itu dalam percaturan ekonomi global atau apa yang disebut sebagai lost decade?
Reaksi penyesuaian dari negara-negara terkena krisis hutang luar negeri yang juga menerima masuknya paket IMF seperti yang terjadi dengan Meksiko, Argentina, Brazil, dll pada dasarnya akan berfokus pada pengem-balian keseimbangan eksternal (neraca pembayaran) dengan segala dampak strukturalnya. Pertama pada sisi transaksi berjalan kebijakasanaan mendorong ekspor dan mengurangi permintaan impor merupakan bagian terpenting. Secara teoritis depresiasi Rupiah yang tajam akan mendorong ekspor dan mengalihkan kegiatan pada aktivitas non-tradable (orientasi domestik) ke aktivitas tradable (orientasi ekspor). Masalahnya ekspor kita kinerjanya sangat tidak menggembirakan bahkan dibandingkan periode sebelum krisis. Hal ini menunjukkan berbagai kombinasi baik pada tingkat harga internasional komoditi yang melemah, maupun yang terutama akibat kondisi domestik yang sangat parah baik menyakut rusaknya perbankan yang merembet pada ketidakmampuan mengimpor bahan baku, serta masalah keamanan yang buruk. Rusaknya sektor perbankan juga diesbabkan terjadinya pergesaran harga relatif akibat merosotnya Rupiah. Surplus neraca perdagangan semakin menipis dan jelas tidak mampu bertahan bila kegiatan impor akan kembali normal atau mendekati pulih.
Terhentinya arus modal (hutang) barn terutama pada sektor swasta mem-perparah kemampuan mengurangi dampak krisis bahkan semakin memper-buruk situasi swasta dan perekonomian secara umum. Kondisi ini akan mem-berikan tekanan yang sangat serius pada budget pemerintah. Penerimaan pemerintah akan mengalami kontraksi akibat mtinya kegiatan sektor swasta, sementara sisi pengeluaran akan semakin membengkak akibat melonjaknya kewajiban hutang luar negerinya mencapai Rp 45 triliun pada 1999/2000 (dengan asumsi kurs Rp 7500). Lonjakan pengeluaran pemerintah juga diakibatkan pembiayaan restrukturisasi bank yang mencapai lebih dari Rp 34 triliun, lonjakan subsidi, maupun kebutuhan mengurangi dampak krisis melalui dana JPS untuk tahun fiskal 1999/2000.
Defisit budget menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan yang dampaknya terhadap perekonomian domestik akan sangat tergantung pada cara pem-biayaan maupun ekspektasi buruk masyarakat yang menjadi kenyataan. Pada kasus Amerika Latin merosotnya kondisi fiskal pemerintah menyebabkan kekhawatiran (ekspektasi) terhadap inflasi masa depan yang melonjak, yang menyebabkan meningkatnya suku bunga yang justru makin memperburuk kewajiban hutang pemerintah (terutama akibat penerbitan obligasi doemstik untuk pembiayaan restrukturisasi bank). Belum lagi ditambah kenyataan bahwa pemerintah juga menjadi penjamin atau bahkan ikut menalangi hutang swasta dan BUMN seperti yang terjadi pada kasus PLN maupun kasus proyek swasta yang disita melalui perbankan yang diambilalih pemerintah seperti Chandra Asri. Situasi tersebut menyebabkan inflasi tinggi berubah menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan yang kembali menyebabkan penurunan suku bunga menjadi tidak mudah dilakukan.
Kondisi negara yang semakin terpuruk menyebabkan uluran dana dari luar negeri baik melalui publik maupun terutama swasta menjadi semakin sukar diharapkan. Sementara itu tekanan politik dalam negeri yang menghendaki peranan pemerintah justru semakin meningkat dalam rangka menanggulangi krisis terutama dalam bentuk program-program populis menjadi makin mengeras. Sukar bagi pemerintah Indonesia hasil pemilu untuk mendisiplinkan ekspektasi masyarakat dan partai politik (lawan) terutama dengan hasil pemilu yang memberikan kemenangan tipis parpol tertentu. Kompleksitas dan tekanan pada fiskal yang bertubi-tubi sering menyebabkan pemerintah mengambil jalan ‘mudah’ dengan tetap melakukan defisit anggaran melalui pembiayaan dalam negeri yaitu melalui pencetakan uang yang semakin memperparah inflasi.
Indonesia harus mampu memutus siklus pemburukan ekonomi yang berasal dari defisit anggaran pemerintah yang kronis yang menjadi malapetaka perekonomian dalam bentuk hiperinflasi. Dari sisi ini kehadiran CGI menjadi sangat relevan dan sangat penting. Kesediaan negara-negara pemberi hutang untuk membiayai defisit anggaran pemerintah dalam situasi saat ini menjadi setidaknya salah satu pencegah terjebaknya Indonesia pada situasi hiperinflasi. Namun demikian beban hutang luar negeri yang sudah sangat berat menjadi patut untuk dipertimbangkan terutama dikaitkan dengan sensitivitas masyrakat terhadap kehadiran hutang luar negeri dan penyelewengan penggunaan di masa lalu. Akumulasi hutang yang menumpuk menyebabkan tidak mampunya perekonomian bergerak, rawan resiko, dan menimbulkan disinsentif bagi pengelola ekonomi untuk mencapai kinerja baik akibat terlalu besarnya transfer keluar untuk memenuhi kewajiban hutang luar negeri.
Berbagai upaya untuk mengelola hutang luar negeri agar menguntungkan kedua belah pihak(pemberi hutang dan peminjam dalam hal ini Indonesia) menjadi perlu dilakukan. Selama ini pemerintah Indonesia sangat anti mem-bicarakan kemungkinan dilakukannya penjadwalan hutang luar negeri pe-merintah bahkan kalau perlu penjajagan dilakukannya penghapusan hutang luar negerinya. Ketakutan yang muncul dari pihak pemerintah adalah hilangnya kepercayaan luar negeri dan ditutupnya kran modal internasional terhadap Indonesia. Dalam studi oleh Linden & Morton, serta Eichengreen ditunjukkan bahwa ketakutan semacam itu tidak terjadi, artinya pihak kreditur tidak akan menutup akses modal apalagi bagi negara Indonesia yang selama ini selalu menunjukkan niat baiknya dalam memenuhi kewajiban luar negerinya (good boy).
Alasan yang lebih mendasar untuk tidak dijajakinya penghapusan hutang luar negeri pemerintah adalah adanya kepercayaan para kreditur bahwa pe-merintah yang diberi penghapusan sebagian hutang tidak akan memanfaatkan peluang tersebut untuk benar-benar memperbaiki pengelolaan ekonominya. Justru yang terjadi fasilitas penghapusan ini menyebabkan pemerintah lupa diri dan terlena dan tidak termotifasi untuk melakukan perbaikan struktural (moral hazard) Jangan lupa pengaruh politik yang masih bergejolak juga merupakan faktor penting bagi pemerintah untuk melakukan pekerjaan yang sukar. Ketidakstabilan politik dan pergantian kekuasaan yang terus menerus terjadi secara cepat antara pihak sipil dan militer seperti yang terjadi di Amerika Latin menjadi faktor penentu terpenting memburuknya defisit anggaran pemerintah. Hutang luar negeri yang sangat besar yang menggantung akan menyebabkan terhambatnya penyesuaian ekonomi dan menciptkan hambatan politis serius terhadap kelangsungan reformasi ekonomi (Sachs).
Dengan demikian adalah sangat penting untuk pemerintah meninjau kembali kebijakan hutang luar negerinya, dengan penekanan pada upaya men-jaga affordability dan sustainability proses pembangunan ekonomi melalui upaya mengurangi peranan hutang pada masa mendatang. Rasanya tidak ber-lebihan menyatakan bahwa keberhasilan Indonesia keluar dari krisis secara sustainable selain ditentukan perbaikan struktural dalam institusi ekonomi juga akan sangat ditentukan oleh kemampuan memanaje hutang-hutang yang telah diwariskan secara menumpuk oleh pemerintah dan pelaku ekonomi selama Orde Baru. lnilah batu ujian pertama dan terpenting bagi pemerintah bane yang akan terlihat pada struktur anggaran pemerintah tahun 2000/2001 dan seterusnya.

Pustaka
Bundling: PEMIKIRAN DAN PERMASALAHAN EKONOMI DI INDONESIA - Sri Mulyani Indrawati - Jakarta, 25 Juli 1999.

Auditor

Auditor adalah seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau organisasi.
Jenis Auditor
Auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
• Auditor Pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan pada instansi-instansi pemerintah. Di Indonesia, auditor pemerintah dapat dibagi menjadi dua yaitu:
o Auditor Eksternal Pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23E ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.. ayat (2) Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,sesuai dengan kewenangannya. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan yang tidak tunduk kepada pemerintah, sehingga diharapkan dapat bersikap independen.
o Auditor Internal Pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) yang dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen/LPND, dan Badan Pengawasan Daerah.
• Auditor Intern merupakan auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas utamanya ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat dimana ia bekerja.
• Auditor Independen atau Akuntan Publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan terbuka, yaitu perusahaan yang go public, perusahaan-perusahaan besar dan juga perusahaan kecil serta organisasi-organisasi yang tidak bertujuan mencari laba. Praktik akuntan publik harus dilakukan melalui suatu Kantor Akuntan Publik (KAP).
Namun, Arens & Loebbecke dalam bukunya Auditing Pendekatan Terpadu yang diadaptasi oleh Amir Abadi Jusuf, menambahkan satu lagi jenis auditor, yaitu:
• Auditor Pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia, bertanggungjawab atas penerimaan negara dari sektor perpajakan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan. Aparat pelaksanaan DJP dilapangan adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa). Karikpa mempunyai auditor-auditor khusus. Tanggungjawab Karikpa adalah melakukan audit terhadap para wajib pajak tertentu untuk menilai apakah telah memenuhi ketentuan perundangan perpajakan.
Tanggung Jawab Auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab auditor:
• Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan. Auditor perlu merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
• Sistem Akuntansi. Auditor harus mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
• Bukti Audit. Auditor akan memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan rasional.
• Pengendalian Intern. Bila auditor berharap untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
• Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan. Auditor melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan keuangan.
Opini Auditor
Munawir (1995) terhadap hasil audit memberikan beberapa pendapat sepotong-sepotong auditor, antara lain:
• Pendapat Wajar Tanpa Bersyarat. Pendapat ini hanya dapat diberikan bila auditor berpendapat bahwa berdasarkan audit yang sesuai dengan standar auditing, penyajian laporan keuangan adalah sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU), tidak terjadi perubahan dalam penerapan prinsip akuntansi (konsisten) dan mengandung penjelasan atau pengungkapan yang memadai sehingga tidak menyesatkan pemakainya, serta tidak terdapat ketidakpastian yang luar biasa (material).
• Pendapat Wajar Dengan Pengecualian. Pendapat ini diberikan apabila auditor menaruh keberatan atau pengecualian bersangkutan dengan kewajaran penyajian laporan keuangan, atau dalam keadaan bahwa laporan keuangan tersebut secara keseluruhan adalah wajar tanpa kecuali untuk hal-hal tertentu akibat faktor tertentu yuang menyebabkan kualifikasi pendapat (satu atau lebih rekening yang tidak wajar).
• Pendapat Tidak Setuju. Adalah suatu pendapat bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil operasi seperti yang disyaratkan dalam Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). Hal ini diberikan auditor karena pengecualian atau kualifikasi terhadap kewajaran penyajian bersifat materialnya (terdapat banyak rekening yang tidak wajar).
• Penolakan Memberikan Pendapat. Penolakan memberikan pendapat berarti bahwa laporan audit tidak memuat pendapat auditr. Hal ini bisa diterbitkan apabila: auditor tidak meyakini diri atau ragu akan kewajaran laporan keuangan, auditor hanya mengkompilasi pelaporan keuangan dan bukannya melakukan audit laporan keuangan, auditor berkedudukan tidak independent terhadap pihak yang diauditnya dan adanya kepastian luar biasa yang sangat memengaruhi kewajaran laporan keuangan.
• Pendapat Sepotong-sepotong. Auditor tidak dapat memberikan pendapat sepotong-sepotong. Hasil auditnya hanya akan memberikan kesimpulan bahwa laporan keuangan yang diaudit secara keseluruhan.
Auditor Sistem Informasi
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi maka berkembang pulalah suatu keahlian dalam profesi auditor, yaitu auditor sistem informasi. Hal ini didasari bahwa semakin banyak transaksi keuangan yang berjalan dalam sebuah sistem komputer. Maka dari itu perlu dibangun sebuah kontrol yang mengatur agar proses komputasi berjalan menjadi baik. Saat ini auditor sistem informasi umumnya digunakan pada perusahaan-perusahaan besar yang sebagian besar transaksi berjalan secara otomatis. Auditor sistem informasi dapat berlatar belakang IT atau akuntansi tentunya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Pustaka
• Jusup haryono. Auditing (Pengauditan). STIE YKPN. Yogyakarta. 2001.
• Arens & Loebbecke. Auditing Pendekatan Terpadu. “tr by” Amir Abadi Yusuf. Salemba Empat. Jakarta. 1996.
• Bastian Indra. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. BPFE UGM. Yogyakarta. 2001.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Auditor

Akuntansi Manajemen

Akuntansi Manajemen atau Akuntansi Manajerial adalah sistem akuntansi yang berkaitan dengan ketentuan dan penggunaan informasi akuntansi untuk manajer atau manajemen dalam suatu organisasi dan untuk memberikan dasar kepada manajemen untuk membuat keputusan bisnis yang akan memungkinkan manajemen akan lebih siap dalam pengelolaan dan melakukan fungsi kontrol.
Berbeda dengan Informasi Akuntansi keuangan, Informasi Akuntansi manajemen adalah:
• Dirancang dan dimaksukan untuk digunakan oleh pihak manajemen dalam organisasi sedangkan informasi Akuntansi keuangan dimaksudkan dan dirancang untuk pihak eksternal seperti kreditur dan para pemegang saham;
• Biasanya rahasia dan digunakan oleh pihak manajemen dan bukan untuk laporan publik;
• memandang ke depan, bukan sejarah;
• Dihitung dengan mengacu pada kebutuhan manajer, sering menggunakan sistem informasi manajemen, bukan mengacu pada standar akuntansi keuangan.
Hal ini disebabkan karena penekanan yang berbeda: informasi akuntansi manajemen digunakan dalam sebuah organisasi, biasanya untuk pengambilan keputusan.
Definisi
Menurut Chartered Institute of Management Accountants (CIMA), Akuntansi manajemen adalah adalah "proses identifikasi, pengukuran, akumulasi, analisis, penyusunan, interpretasi dan komunikasi informasi yang digunakan oleh manajemen untuk merencanakan, mengevaluasi dan pengendalian dalam suatu entitas dan untuk memastikan sesuai dan akuntabilitas penggunaan sumber daya tersebut. Akuntansi manajemen juga meliputi penyusunan laporan keuangan untuk kelompok non-manajemen seperti pemegang saham, kreditur, badan pengatur dan otoritas pajak "(Istilah resmi CIMA).
The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) menyatakan bahwa akuntansi manajemen sebagai praktik meluas ke tiga bidang berikut:
• Manajemen Strategi - Memajukan peran akuntan manajemen sebagai mitra strategis dalam organisasi.
• Manajemen Kinerja - Mengembangkan praktik pengambilan keputusan bisnis dan mengelola kinerja organisasi.
• Manajemen Risiko - Berkontribusi untuk membuat kerangka kerja dan praktik untuk mengidentifikasi, mengukur, mengelola dan melaporkan risiko untuk mencapai tujuan organisasi.
Chartered Institute of Management Accountants (CIMA) menyatakan bahwa "Seorang akuntan manajemen harus mampu menerapkan pengetahuan profesional dan keterampilannya dalam penyusunan dan penyajian informasi keputusan keuangan dan lainnya yang berorientasi sedemikian rupa untuk dapat membantu manajemen dalam merumusakan kebijakan, perencanaan dan pengendalian pelaksanaan pengoperasian. "Akuntan manajemen oleh karena itu dilihat sebagai "pencipta nilai" antara akuntan. Mereka jauh lebih tertarik melihat ke depan dan mengambil keputusan yang akan memengaruhi masa depan organisasi, daripada rekaman sejarah dan kepatuhan (menjaga nilai) aspek profesi. Pengetahuan dan pengalaman akuntansi manajemen dapat diperoleh dari berbagai bidang dan fungsi dalam suatu organisasi seperti manajemen informasi, perbendaharaan, audit efisiensi, pemasaran, penilaian, penetapan harga, logistik, dan lainnya.
Tradisional vs praktik inovatif
Pada akhir 1980-an, praktisi akuntansi dan para pendidik dikecam keras dengan alasan bahwa praktik akuntansi manajemen (dan, bahkan lebih dari itu, kurikulum yang diajarkan untuk mahasiswa akuntansi) hanya mengalami sedikit perubahan dibandingkan 60 tahun sebelumnya, meskipun telah terjadi perubahan radikal dalam lingkungan bisnis. Lembaga akuntansi profesional, mungkin takut bahwa akuntan manajemen akan semakin dilihat sebagai suatu yang tidak berguna dalam organisasi bisnis, sehingga kemudian dapat mencurahkan sumber daya untuk pengembangan keterampilan yang lebih inovatif ditetapkan untuk akuntan manajemen.
Peran dalam korporasi
Konsisten dengan peran lain dalam korporasi saat ini, akuntan manajemen memiliki hubungan pelaporan ganda. Sebagai mitra strategis dan penyedia keputusan berdasarkan informasi keuangan dan operasional, akuntan manajemen bertanggung jawab untuk mengelola tim bisnis dan pada saat yang sama harus menyediakan semua hubungan antar laporan dan tanggung jawab untuk mengorganisasikan keuangan korporasi.
Kegiatan akuntan manajemen memberikan informasi bisnis termasuk peramalan dan perencanaan, melakukan analisis varians, mengkaji dan memantau biaya yang melekat dalam bisnis adalah orang yang memiliki akuntabilitas ganda untuk kedua tim keuangan dan bisnis.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntansi_manajemen

Sabtu, 30 April 2011

Pembahasan Hukum Dagang

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan. Dalam zaman modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan. Jenis-jenis perdagangan dibagi menjadi tiga, yaitu :
Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang
 Perdagangan mengumpulkan (produsen – tengkulak – pedagang besar – eksportir)
 Perdagangan menyebutkan (importir – pedagang besar – pedagang menengah – konsumen)
Menurut jenis barang yang diperdagangkan
 Perdagangan barang yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia. Contoh: (hasil pertanian, pertambangan, pabrik)
 Perdagangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rohani manuia. Contoh (kesenian, musik)
 Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek)
Menurut daerah, tempat perdagangan itu dilakukan
 Perdagangan dalam negeri
 Perdagangan internasional perdagangan ekspor, perdagangan impor
 Perdagangan meneruskan (perdagangan transito)
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 yakni : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Menurut Soesilo Prajogo yang dimaksud Hukum Dagang adalah “Pada hakekatnya sama dengan hukum perdata hanya saja dalam hukum dagang yang menjadi objek adalah perusahaan dengan latar belakang dagang pada umumnya termask wesel, cek, pengangkutan, asuransi dan kepalitan
Kewajiban Daftar Perusahaan
Setiap perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan, termasuk di dalamnya :
• Kantor Cabang,
• Kantor Pembantu,
• Anak Perusahaan,
• Agen,
• Perwakilan Perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian
Perusahaan yang terkena kewajiban pendaftaran berbentuk usaha :
• Perseroan Terbatas (PT);
• Koperasi;
• Persekutuan Komanditer (CV);
• Firma (Fa);
• Perorangan;
• Bentuk Perusahaan Lain
Pengertian dan Pengaturan Wajib Daftar Perusahaan
a. Pengertian Wajib Daftar Perusahaan
Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut aturan atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan. Daftar catatan resmi ini terdiri dari formulir-formulir yang memuat catatan lengkap mengenai hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan.
b. Pengaturan Wajib Daftar Perusahaan
Menurut H M N. Purwosutjipto, SH, dalam bukunya ”Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia”, selama ini Indonesia belum pernah memiliki suatu undang-undang yang mengatur tentang ”Daftar Perusahaan ”sebagai suatu sumber informasi resmi mengenai identitas , status, solvabilitas, bonafiditas, dan lain-lain faktor penting suatu perusahaan tertentu. Informasi semacam ini adalah sangat penting bagi setiap perusahaan yang mengadakan suatu transaksi dengan perusahaan lain, agar tidak terperosok dalam perangkap perusahaan yang kurang bonafide dan termasuk dalam jurang kerugian yang tidak mudah diperbaiki. Akhirnya timbullah undang-undang yang sangat diharap-harapkan itu, yaitu ”Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan” (LN 1982-7, TLN No. 3214). Undang-undang ini diikuti dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu:
• Instruksi Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 05/INS/M/82, tentang ”Persiapan Pelaksanaan Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan”,
• Keputusan Menteri Perdagangan No. 285/Kp/II/85 tentang ”Pejabat Penyelenggara Wajib Daftar Perusahaan”,
• Keputusan Menteri Perdagangan No. 286/Kp/II/85 tentang ”Penetapan Tarif Biaya Administrasi Wajib Daftar Perusahaan”,
• Keputusan Menteri Perdagangan No. 288/Kp/II/85 tentang ”Hal-hal Yang Wajib Didaftarkan Khusus Bagi Perseroan Terbatas Yang menjual Sahamnya Dengan Perantaraan Pasar Modal”
SUMBER-SUMBER HUKUM DAGANG INDONESIA
1. Pengaturan Hukum di Dalam Kodifikasi
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Ketentuan KUHPerdata yang secara nyata menjadi sumber hukum dagang adalah Buku III tentang perikatan. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagaimana dikatakan H.M.N Purwosutjipto bahwa hukum dagang adalah hukum yang timbul dalam lingkup perusahaan. Selain Buku III tersebut, beberapa bagian dari Buku II KUHPerdata tentang Benda juga merupakan sumber hukum dagang, misalnya Titel XXI mengenai Hipotik.
1. Pengaturan di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
KUHD yang mulai berlaku di Indoneia pada 1 Mei 1848 terbagi atas dua kitab dan 23 bab. Di dalam KUHD jelas tercantum bahwa implementasi dan pengkhususan dari cabang-cabang hukum dagang bersumber pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang Isi pokok daripada KUHD Indonesia adalah:
1. Kitab pertama berjudul Tentang Dagang Umumnya, yang memuat 10 bab.
2. Kitab kedua berjudul Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Terbit dari Pelayaran, terdiri dari 13 bab.
3. Pengaturan di Luar Kodifikasi
Sumber-sumber hukum dagang yang terdapat di luar kodifikasi diantaranya adalah sebagai berikut;
- UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas
- UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
- UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
1. Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh subyek hukum dan sudah menjadi opini umum dan menimbulkan sanksi apabila tidak dilakukan kebiasaan tersebut.
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
Dalam ilmu hukum, kekayaan milik intelektual dimasukkan dalam golongan hukum harta kekayaan khususnya hukum benda (zakenrecht) yang mempunyai obyek benda intelektual, yaitu benda yang tidak berwujud. Istilah Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan padanan dari istilah intellectual property sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas W. Dunfee dan Frank F. Gibson yang berarti suatu manifestasi fisik suatu gagasan praktis kreatif atau artistik serta cara tertentu dan mendapatkan perlindungan hukum.
World Intelellectual Property Organization (WIPO) merumuskan intelectual property sebagai organisasi Internasional yang mengurus perlindungan terhadap hasil karya manusia baik hasil karya yang berupa aktivitas dalam ilmu pengetahuan, industri, kesusteraan dan seni. Ruang lingkup Hak atas Kekayaan Intelektual seperti dirumuskan oleh WIPO mempunyai pengertian luas yang mencakup, antara lain:
- karya kesustraan - pertunjukan oleh para artis
- Ilmu Pengetahuan (scientific) - Penyiaran audi visual
- Artistik - Penemuan ilmiah
Perlu ditegaskan dalam hak kekayaan atas intelektual yang dilindungi bukanlah idea tau gagasannya, tetapi kreasi yang dihasilkan dari ide atau gagasan tersebut.
Klasifikasi Hak atas Kekayaan Intelektual;
Menurut World Intelellectual Property Organization WIPO, HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) biasanya dibagi menjadi dua bagian, yaitu;
1. 1. Hak Cipta (Copyrights)
Menurut Pasal 1 Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta merupakan hak khusus, karena hanya diberikan kepada pencipta atau pemegang hak tersebut. Orang lain dilarang menggunakan hak tersebut, kecuali mendapatkan izin dari pencipta atau orang yang mempunyai hak cipta.
Dalam Pasal 12 UU Hak Cipta, Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
1. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
2. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
7. arsitektur;
8. peta;
9. seni batik;
10. fotografi;
11. sinematografi;
12. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Semua hasil karya tulisan, drama atau drama musikal, segala bentuk seni rupa, seni batik, lagu atau musik, arsitektur, kuliah, alat peraga, peta, terjemahan. Hak Cipta tersebut akan berlaku selama penciptanya masih hidup dan 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Sedangkan Program Komputer, sinematografi, fotografi, database, dan karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
1. 2. Hak atas Kekayaan Industri
Khusus menyangkut Hak atas Kekayaan Industri, menurut pasal 1 Konvensi Paris mengenai Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri tahun 1883 yang telah irevisi dan diamandemen pada tanggal 2 Oktober 1979 yang biasa disebut dengan Konvensi Paris, perlindungan hukum kekayaan industry meliputi:
1. a. Paten (Patens)
Hak Paten adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
1. b. Hak Merek
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Untuk mendaptkan hak atas merek harus mendaftarkan mereknya pada Direktorat Jenderal HAKI Departemen Kehakiman. Proteksi terhadap merek yang telah didaftarkan tidak dibatasi masa berlakunya.
1. c. Indikasi Geografi dan indikasi asal à penyebutan nama wilayah geografis dari negara, daerah atau
tempat untuk menunjukan asal suatu produk berdasarkan kualitas dan sifat khusus lingkungan gografis, termasuk factor alam dan manusianya. Contoh: anggur Bordeux, Batik tulis Solo, Sutera Thailand.
1. d. Hak Desain Industri (Industrial Designs) à suatu kreai tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi
garis atau warna yang berbentuk tiga dimensi yang mengandung nilai estetika dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk barang industry dan kerajinan tangan.
SANKSI ATAS PELANGGARAN HAKI
Pada bab ini tentang sanksi yang diberikan terhadap pelaku atas pelanggaran HaKI, yang akan saya jelaskan hanyalah sanksi atas pelanggaran hak cipta dan sanksi atas pelanggaran hak merk saja.
Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta:
Menurut Pasal 72 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait tanpa mendapatkan izin dari pemilik hak cipta dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sanksi pidana terhadap pelanggaran hak Merek:
Sesuai dengan Pasal 90 UU Merk Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
2. Periksa: Ridwan Khairandy dkk, S.H., M.H., Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
3. Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten
4. Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
5. Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek

Syarat Sah Perjanjian Menurut Sistem Hukum Indonesia dan Keabsahan Perjanjian BOT

Syarat Sah Perjanjian Menurut Sistem Hukum Indonesia dan Keabsahan Perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia dikatakan bahwa ada empat hal yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

a. Kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Jika ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 KUHPerdata Indonesia dibaca dan diperhatikan dengan seksama, maka tidak akan ditemui pengertian, definisi atau makna dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata Indonesia tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata Indonesia.
KUHPerdata Indonesia Pasal 1321 menyebutkan 3 (tiga) alasan untuk pembatalan perjanjian berdasarkan tidak adanya kesepakatan, yaitu :
1. Kekhilafan/ kesesatan (dwaling), jo Pasal 1322 KUHPerdata Indonesia
2. Paksaan (dwang), jo Pasal 1323, 1324, 1325, 1326 dan 1327 KUHPerdata Indonesia
3. Penipuan (bedrog), jo Pasal 1328 KUHPerdata Indonesia
Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak yang menawarkan dan pihak yang mengakseptasi penawaran. Selanjutnya dikatakan Subekti bahwa apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu mengenai hal – hal yang pokok dari perjanjian harus juga dikehendaki oleh pihak yang lain, dengan kata lain mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Sehubungan dengan momentum terjadinya kesepakatan dalam kerangka pemahaman civil law system ada beberapa ajaran yang terkenal, yaitu :
a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
d. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Dari KUHPerdata Indonesia dan beberapa argument yang diajukan sarjana hukum Indonesia tersebut terlihat bahwa kesepakatan hanya dilihat dari kulit keranjangnya saja, tetapi apa materi apa yang terkandung di dalam kesepakatan tidak dijumpai dalam KUHPerdata Indonesia dari argumen – argumen tersebut. Sebagai perbandingan terdekat perkembangan baru mengenai kesepakatan dapat dilihat dalam ketentuan baru KUHPerdata Belanda atau yang dikenal dengan NBW. Dalam Pasal 6 : 217 NBW telah diidentifikasi unsur – unsur dari kesepakatan, yang mana pasal tersebut menyatakan bahwa “suatu perjanjian lahir karena suatu penawaran dan penerimaan”. Selanjutnya dijelaskan bahwa makna penawaran dalam pasal tersebut adalah pernyataan kehendak dalam mana terkandung usul untuk mengadakan suatu perjanjian, usul ini harus memuat kewajiban – kewajiban terpenting yang timbul dari perjanjian, dan kemudian penerimaan terhadap usul tersebut akan “melahirkan” perjanjian. Selanjutnya dalam Pasal 6 : 219 NBW dijabarkan keadaan yang menyebabkan penawaran akan kehilangan kekuatannya, yaitu : (1) dalam hal penawaran ditolak pada saat penawaran diajukan, (2) dalam hal berlakunya suatu jangka waktu tertentu, dan (3) dalam hal si penawar menarik kembali penawarannya.

Isu bisnis sekarang yang perlu diperhatikan adalah mengenai merger, konsolidasi ataupun akuisisi. Di mana keadaan – keadaan tersebut menyebabkan berubahnya person dan kedudukan pihak yang terikat dalam perjanjian di kemudian hari. Dalam hal terjadi kesalahan dalam perumusan pihak yang terikat dalam perjanjian (khususnya dalam hal pihak yang terikat berbentuk Perseroan Terbatas), maka fatal akibatnya karena perjanjian bisa dianggap tidak pernah ada sama sekali dengan dalih tidak ada kesepakatan disebabkan oleh pihak terikat telah di merger, akuisisi ataupun konsolidasi tersebut, sehingga perjanjian menjadi error in persona.
b. Kecakapan para pihak untuk membuat satu perikatan
Di dalam Pasal 1329 KUHPerdata Indonesia, dinyatakan bahwa :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan – perikatan jika oleh undang – undang tidak dinyatakan tak cakap.”
Selanjutnya dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan kualifikasi orang yang termasuk dalam kategori tidak cakap menurut hukum, yaitu :
1. Orang – orang yang belum dewasa;
Kriteria dari orang – orang yang belum dewasa ini sendiri tergantung dari Undang – Undang memaksa yang mengatur untuk setiap karakteristik perjanjian tertentu. Secara umum dapat digunakan satu asas hukum, yaitu undang – undang yang baru dapat menafikan undang – undang yang lama. Adapun undang – undang terbaru yang mengatur masalah usia adalah Undang – Undang tentang Jabatan Notaris, di mana di sana ditetapkan usia minimal untuk melakukan perbuatan hukum adalah berusia minimal 18 tahun.
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
Menurut Pasal 433 KUHPerdata Indonesia, orang – orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang – undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.
Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing – masing adalah orang tuanya atau pengampunya.
Mengenai penentuan cakap atau tidaknya para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian, maka arus dilihat berdasarkan peraturan perundang – undangan yang menaunginya.
Dewasa ini pernyataan kecakakapan harus disertai dengan pernyataan itikad baik. Pernyataan itikad baik yang dimaksud adalah dengan tegas menyebut dasar bertindak para pihak berdasarkan kualifikasi sahnya menjadi para pihak berdasarkan peraturan perundang – undangan di dalam perjanjian. Misalnya untuk perseroan terbatas, maka perseroan terbatas dalam penyebutan para pihak harus secara jelas dan tegas menyebutkan mengenai tanggal pengesahannya menjadi PT menurut hukum Indonesia, nomor pendaftarannya beserta notaris yang menjadi medianya.
3. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh undang – undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang – undang telah melarang membuat persetujuan – persetujuan.
Mengenai hal ini tidak lagi masuk dalam kualifikasi orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Di mana sejak tahun 1963 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di selutuh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami itu diangkat ke derajat yang sama dengan pria. Dengan demikian untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi.
c. Adanya suatu hal tertentu
KUHPerdata Indonesia menentukan kualifikasi benda yang tidak dapat dijadikan objek perjanjian. Benda – benda itu adalah benda – benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Objek suatu perjanjian sekurang – kurangnya harus dapat ditentukan.
“Benda – benda itu dapat berupa yang sekarang ada dan nanti aka nada di kemudian hari” (Pasal 1332 s/d 1335 KUHPerdata Indonesia)
d. Adanya suatu sebab yang halal.
“untuk sahnya suatu perjanjian, KUHPerdata Indonesia mensyaratkan adanya suatu sebab. KUHPerdata Indonesia tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sebab. Yang dimaksud dengan sebab bukan hubungan sebab – akibat, tetapi issi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat iini, di dalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang – undang (yang bersifat memaksa), ketertiban umum dan kesusilaan” (Pasal 1335 s/d 1337 KUHPerdata Indonesia).
Demikianlah syarat sah untuk berlakunya perjanjian menurut KUHPerdata Indonesia, maka jika dikaitkan dengan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, maka :
a. Kesepakatan
Adanya kesepakatan dari para pihak dapat dilihat dari buyi recital perjanjian sebagai berikut :
“Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 43 Tahun 2000 tanggal 3 Nopember 2000 tentang Pedoman Kerja Sama Antara Perusahaan Daerah Dengan Pihak Ketiga, Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Sumatera Utara No. 26 Tahun 1985 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, dan Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/0580/EK/I.2/2003 tanggal 30 Januari 2003 perihal Hasil Penawaran Kerja Sama Aset Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Propinsi Sumatera Utara, Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/1109/EK/I/2003 tanggal 17 Pebruari 2003 perihal Persetujuan Prinsip Kerja Sama Build Operate and Transfer (BOT), Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/3559/EK/I/2003 tanggal 23 Mei 2003 perihal Perpanjangan Persetujuan Prinsip dan Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/10924/EK/I/2003 tanggal 9 Desember 2003 tentang Perpanjangan Masa Berlaku Persetujuan Prinsip Kerja Sama, maka PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat mengikat Perjanjian Kerja Sama Dalam Bentuk Build Operate and Transfer (BOT) – selanjutnya dalam perjanjian ini disebut “Perjanjian Kerja Sama BOT” – Pembangunan Gedung Maksimum Berlantai 5 (lima) Pada Ex. Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi beserta bangunan turutannya untuk digunakan sebagai Gedung Perkantoran, Pertokoan dan Swalayan.
Sehubungan dengan Surat Presiden Direktur PT. Petisah Putra No. 001/PP/I/2005 tanggal 26 Januari 2005, perihal Permohonan Pengalihan Seluruh Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab PT. Petisah Putra Atas Perjanjian Kerja Sama BOT Aset Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Petisah Putra No. 011/AIJ/I/2004 tanggal 20 Januari 2004, Akte Notaris No. 6 oleh Notaris Halim AK, SH.
Berdasarkan kesimpulan Rapat Badan Pengawas Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara tanggal 4 Pebruari 2005 serta ketentuan-ketentuan yang digariskan telah diterbitkan Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/778/EK/I/2005 tanggal 8 Maret 2005 Perihal Persetujuan Prinsip Pengalihan Hak dan Kewajiban Pengelolaan Kerja Sama BOT Aset Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi dari PT. Petisah Putra kepada PT. Golden Gate Perdana, dan berdasarkan Akte Kesepakatan Saudara Ngarijan Salim mewakili Direksi PT. Petisah Putra dan Saudara Marihot Nainggolan mewakili Direksi PT. Golden Gate Perdana tanggal 4 Mei 2005 No. 8 diperbuat oleh Diana Nainggolan, SH Notaris di Medan serta Akte Legalisasi Pernyataan No. 1297/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005, No. 1298/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005, No. 1299/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005 dan No. 1300/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005 yang diperbuat oleh Diana Nainggolan, SH Notaris di Medan.”

b. Kecakapan
Sebagaimana diketahui para pihak adalah berbentuk perusahaan. Dengan demikian penentuan orang yang cakap untuk mewakili kedua pihak harus merujuk kepada peraturan perundang – undangan yang mengaturnya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :
Berdasarkan ketentuan tersebut maka orang yang cakap menurut hukum untuk mewakili Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara adalah pimpinan dari badan hukum public tersebut, sedangkan yang cakap untuk mewakili PT. Golden Gate Perdana menurut hukum adalah pengurusnya (direksinya).
Dalam perjanjian Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana komposisi pihak yang mewakili termuat dalam penyebutan para pihak sebagai berikut :

“Pada hari ini Rabu, tanggal empat bulan Mei tahun dua ribu lima, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Drs. M. SITANGGANG :
Alamat Jalan Putri Merak Jingga No. 3 Medan, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 539/2765/K/XI/1999, tanggal 3 Oktober 1999, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara, yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah No. 26 Tahun 1985, dalam melakukan tindakan hukum ini telah mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatera Utara selaku Ketua Badan Pengawas dengan Surat No. 539/778/EK/I/2005 tanggal 8 Maret 2005, selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
2. MARIHOT NAINGGOLAN :
Alamat Jalan Pukat Banting No. 36 Kelurahan Banten, Kecamatan Medan Tembung Kota Medan, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur PT. Golden Gate Perdana berkedudukan di Medan yang didirikan berdasarkan Akta No. 6 tanggal 25 Juni 2003 diperbuat di hadapan Halim Alrasyid Kanggara, SH Notaris di Medan, di mana Akta Pendirian Perseroan ini telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C-20650.HT.01.01.TH.2003 tanggal 2 September 2003, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Golden Gate Perdana, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.”

Dari pernyataan para pihak tersebut, maka jelas terlihat bahwa syarat kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum mengikatkan diri dalam perjanjian adalah terpenuhi oleh kedua belah pihak. Dan demikian pula dengan persyaratan itikad baik objektif juga terpenuhi oleh para pihak dalam perjanjian.
c. Suatu hal tertentu yang tertentu nilainya
Pernyataan para pihak mengenai objek perjanjian dapat terlihat dari apa yang diatur para pihak dalam Pasal 3 angka (3) perjanjian yang berbunyi sebagai berikut :
“PIHAK KEDUA membangun Gedung baru maksimum berlantai 5 (lima) di atas tanah Ex. Gedung Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi Jalan Thamrin No. 48 Tebing Tinggi sebagaimana dimaksud Pasal 1 Perjanjian Kerja Sama ini, dengan nilai investasi sebesar Rp 13.000.000.000,- (tiga belas milyar rupiah) untuk digunakan menjadi Gedung Perkantoran, Pertokoan dan Swalayan.”




d. Suatu sebab yang halal
Pemaknaan sebab yang halal adalah bahwa materi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan. Di mana perjanjian BOT yang dibuat antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana adalah sesuai dengan Undang – Undang Otonomi Daerah yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan kreasi sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya demi menunjang pembangunan kesejahteraan daerah. Kemudian Undang – Undang PMA memberikan izin kepada pemerintah daerah untuk mengelola investasi di daerahnya. Di samping itu berdasarkan bentuk kerjasama dalam peraturan menteri dalam negeri di tahun 2005 menyebutkan bahwa Kerjasama yang dibolehkan antara pemerintah daerah dengan pihak swasta dapat berupa :
a. Kontrak pelayanan (Service Contract) yang dicirikan dengan tidak ada investasi, terbatas pada operasional dan manajemen, keuntungan kecil, efisiensi terbatas dan cocok dilakukan pada masa krisis.
b. Kontrak pengelolaan (Management Contract), yang dicirikan dengan tidak ada investasi, adanya pengelolaan perusahaan, keuntungan kecil, efisiensi terbatas dan cocok dilakukan pada masa krisis.
c. Kontrak sewa (Lease Contract) yang dicirikan dengan tidak ada investasi, terbatas pada peralatan, keuntungan kecil, efisiensi terbatas dan cocok dilakukan pada masa krisis. 4) Bangun-kelola-alih milik (Built, Operate and Transfer)/Bangun-kelola-miliki-alih milik (Built, Operate, Own and Transfer) yang dicirikan dengan adanya investasi swasta, pembangunan sarana, biaya rendah kualitas tinggi, menguntungkan, efisiensi tinggi, cocok dilakukan pada kondisi ekonomi yang baik.
d. Konsesi (Concession) yang dicirikan dengan adanya investasi swasta, pengelolaan dan keuangan secara bersama, menguntungkan, efisiensi tinggi, cocok dilakukan pada kondisi ekonomi yang baik.
Dengan demikian pembuatan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana adalah tidak bertentangan dengan hukum memaksa.
Namun dewasa ini di dalam perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan perjanjian di dunia meletakkan ketentuan perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia tentang syarat sah perjanjian hanya merupakan syarat lahirnya perjanjian, dan pemenuhan terhadapnya tidak secara otomatis menyebabkan suatu perjanjian sah di mata hukum. Hal itu terjadi berkaitan dengan perkembangan hubungan antara hukum privat dan hukum publik sejalan dengan berkembangnya doktrin negara kesejahteraan (welfare state). Di mana pengaturan isi perjanjian tidak semata – mata diberikan kepada para pihak, akan tetapi perlu diawasi oleh pemerintah. Dalam konsep “welfare state” pemerintah bertindak sebagai pengemban kepentingan umum yang menjaga keseimbangan individu dan masyarakat. Di mana dalam hal perkembangan tersebut selain syarat yang dikemukakan dalam KUHPerdata Indonesia tersebut, dewasa ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga secara universal berkembang doktrin “Illegallity contract”, berdasarkan doktrin tersebut perjanjian yang telah memenuhi syarat dasar diuji lagi kesesuaiannya dengan undang – undang yang berlaku umum (statutes) dan kabijakan public (public policy). Adapun yang dimaksud dengan “public policy” menurut David Easton adalah “the authoritative allocation of values for the whole society”, sementara pelaku dari pengalokasian nilai tersebut adalah pemerintah, sebagaimana dikemukakan Dye bahwa public policy adalah “whatever government choose to do or not to do”. Dengan demikian suatu perjanjian dewasa ini harus diuji kesesuainnya dengan nilai – nilai yang berkaitan dengan kepentingan umum (values for the whole society).
Sebagaimana yang terjadi di negara – negara penganut common law, sebagai contoh dapat digambarkan oleh Cheeseman bagaimana perubahan cara pandang demikian seperti yang terjadi di United States of America, di mana hukum perjanjian Amerika bersumber dari common law Inggris. Penggunaan perjanjian pada mulanya dikembangkan pada masa yang lampau. Hukum perjanjian “common law” (the common law of contract) berkembang di Inggris sekitar abad ke – 15. Dan hukum perjanjian Amerika adalah bersumber dari English Common Law. Pada awalnya United States mengadopsi doktrin “laissez – faire” sebagai suatu pendekatan ke arah hukum perjanjian (the law of contracts). Doktrin tersebut berkembang di Inggris sekitar abad ke – 19 melalui yurisprudensi. Di mana inti utama dari teori tersebut adalah kebebasan berperjanjian (freedom of contract). Teori tersebut didasari oleh asumsi bahwa para pihak dalam perjanjian dalam kedudukan yang “seimbang”, di mana para pihak (seperti konsumen, pengusaha kecil, petani dan pedagang) dianggap secara umum bertransaksi secara face to face, dan masing – masing memiliki pengetahuan dan posisi tawar yang sama (equal), sama – sama memliki kesempatan untuk memeriksa barang (good) yang ditransaksikan sebelum perjanjian dilaksanakan. Pasal – pasal dalam perjanjian dianggap merupakan hasil dari negosiasi para pihak dalam perjanjian. Dan oleh karena itu sangat sedikit peraturan pemerintah yang membatasi hak dalam perjanjian (right to contract) tersebut, di mana hukum hanya diperbolehkan untuk campur tangan (interfered) dalam spesifikasi dasar keadilan (fairly specific grounds), seperti misinterpretation dan undue influence.] Teori murni (classical law of contracts) menganggap pasal – pasal dalam perjanjian sebagai peraturan – peraturan objectif (objective rules) yang pada gilirannya dianggap menghasilkan kepastian (certainty) dan prediktabilitas dalam hal pelaksanaan perjanjian (enforcement of contracts). Teori ini terus dianut sampai terjadinya revolusi industri di Amerika. Revolusi industri telah mengubah banyak pandangan yang mendasari teori perjanjian murni (pure contract law). Sebagai contoh sejak revolusi industri perusahaan – perusahaan besar berkembang dan pada gilirannya menguasai sumber – sumber penghasilan yang penting, dengan demikian telah terjadi pergeseran pandangan masyarakat terhadap keseimbangan tradisional dari para pihak (traditional balance of parties) dalam hal posisi tawar (bargaining power), perusahaan – perusahaan besar memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Mata rantai distribusi barang (the chain of distribution goods) juga turut berubah sejak (1) pembeli (buyers) tidak lagi bertransaksi secara face to face dengan penjual (sellers), dan (2) tidak selalu ada kesempatan untuk menginspeksi barang sebelum penjualan. Pada akhirnya penjual (sellers) mulai menggunakan perjanjian – perjanjian baku (form contracts) dalam menawarkan barangnya kepada pembeli (buyers) dalam basis “take it or leave it”. Mayoritas perjanjian di Amerika kemudian mengarah kepada perjanjian yang dibakukan. Seperti misalnya perjanjian automobile, perjanjian hipotik (mortgage), perjanjian penjualan untuk barang – barang konsumsi (sales contracts for consumer goods), dsb. Berlatarbelakang perkembangan tersebut, baik pemerintah federal ataupun pemerintahan pusat menetapkan beberapa undang – undang (statutes) yang ditujukan untuk melindungi para konsumen, kreditur dan pihak lainnya dari perjanjian – perjanjian yang tidak seimbang (unfair contracts). Selanjutnya, pengadilan juga mulai mengembangkan pemikiran untuk menghindari memberikan “legal effect” kepada perjanjian – perjanjian yang menindas (oppressive) atau perjanjian – perjanjian lain yang tidak adil (unjust). Pemahaman baru tersebut disebut dengan “modern law of contracts”, yang pada intinya hak untuk menentukan isi perjanjian secara mandiri oleh para pihak dibatasi oleh peraturan pemerintah yang substansial (substansial government regulation). Selanjutnya menurut Sir Henry Maine, pergerakan yang demikian seirama dengan berkembangnya prinsip standarisasi hubungan manusia.
Hal demikian juga terjadi di Inggris tempat di mana common law berakar, sebagaimana digambarkan Treitel berikut :
“Important inroads on the principle of freedom of contract have been made by “legislation” passed to redress some real or supposed “imbalance” of bargaining power. The contents of many contracts are now regulated in some detail by legislation.
…… Under other statutes, terms are compulsorily implied into contracts and cannot be excluded by contrary agreement; while the validity of standard form contracts is subject to legislative restrictions, especially in contracts between a commercial suppliers of goods and services and consumer. In all these cases the main relationship between the parties is still based on “agreement”, but many of the obligations arising out of it are imposed or regulated by law.”

Demikianlah beberapa perkembangan dalam kualifikasi sahnya suatu perjanjian. Dengan demikian perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana untuk dinyatakan sah dan dapat berdampak hukum bagi para pihak harus tidak bertentangan dengan hukum memaksa yang terkait dengan kepentingan umum atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan umum. Secara teoritis dan umum, dalam kaitannya dengan investasi, ada beberapa hal yang berkaitan dengan kepentingan umum yang harus terjaga muatannya dalam sustu perjanjian investasi, yaitu berkaitan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), perlindungan terhadap lingkungan hidup (incorporating evviromental protection), pengembangan ekonomi nasional (economic development), penurunan angka kemiskinan (poverty reduction), dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (human capital development).Karena bagaimanapun juga tujuan dasar dari dibukanya kesempatan investasi oleh pemerintah adalah untuk membantu proses pensejahteraan rakyat. Sebagaimana tujuan demikian juga termuat dalam perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, yaitu dalam pasal 2 perjanjian yang berbunyi sebagai berikut :
”Pasal 2
Bentuk dan Tujuan Kerja Sama
1. Bentuk Kerja Sama adalah Build Operate and Transfer (BOT) dengan Profit Sharing atau pembagian keuntungan.
2. Meningkatkan pendapatan Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara guna menunjang Pendapatan Asli Daerah.
3. Mewujudkan pembangunan kota sesuai dengan rencana pembangunan suatu daerah, khususnya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dalam hal ini RUTRK dan RDTRK Kota Tebing Tinggi.
4. Memperluas lapangan kerja.”