Senin, 28 Februari 2011

Sistem Perekonomian Indonesia

Sistem Perekonomian Indonesia Saatnya Diganti
Kendari (ANTARA News) - Sistem perekonomian yang dianut Bangsa Indonesia saat ini, sudah saatnya diganti dengan sistem perekonomian nasional, karena tidak mampu lagi memenuhi tuntutan dan kesejahteraan rakyatnya.

Sistem ekonomi pasar ala IMF, Bank Dunia, WTO dan lainnya sudah saatnya diganti dengan sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada rakyat dan menomorbelakangkan kepentingan konglomerat, kata Ketua MPP DPP PAN, Amien Rais di Kendari, Kamis.

Menurut dia, salah satu penyebab kemiskinan yang terus melanda masyarakat Indonesia dari satu periode ke periode berikutnya, karena sistem ekonomi itu sudah tidak mampu lagi menyahuti tuntutan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan sosial ekonomi masyarakat.

Sistem ekonomi seperti IMF, Bank Dunia, WTO dan sistem ekonomi lainnya tidak mampu membawa Indonesia pada kebangkitan ekonomi, karena lebih mengutamakan kepentingan konglomerat yang diwakili para korporasi asing daripada kepentingan nasional dan rakyat Indonesia.

"Ini adalah salah satu jawaban mengapa bangsa Indonesia masih terus dilanda kemiskinan yang berkepanjangan dan tidak ada perubahan yang signifikan," ujar Amien Rais yang juga pengamat sosial.

Pihaknya menyebutkan bahwa sektor pertambangan adalah sektor yang paling terkorup, sehingga kekayaan minyak bumi yang ada di Indonesia tidak lagi disebut "berkah minyak" tetapi sudah berubah menjadi "kutukan minyak", karena tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

Bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya, subur dan makmur, namun warganya masih melarat. Hal itu disebabkan ketidak cocokan antara kesuburan dan kekayaan alam dengan kenyataan yang ada yakni kemiskinan dan kemelaratan yang merata dari Sabang hingga Merauke.

Sehingga, kata Amien Rais, sektor pertambangan ini harus direkonstruksi kembali, agar bisa memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat Indonesia.

Salah satu rekonstruksi di sektor pertambangan adalah meninjau kembali Kontrak Karya (KK) nonmigas dan kerjasama di bidang migas yang dinilai terlalu banyak yang menguntungkan pengusaha asing dan merugikan negara.

Jika KK tersebut bisa direkonstruksi ulang, maka "kocek" nasional bisa lebih tebal dan tidak kerepotan mengatasi kekurangan pajak di bidang pendidikan dan kesehatan serta lainnya, katanya.(*)
Dampak Kebijakan Perekonomian dan Perdagangan Luar Negeri Indonesia
Salah satu dampak semakin terbukanya kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia, adalah terbukanya beberapa sektor bidang investasi yang tadinya tertutup bagi investor asing atau masuk dalam kategori Daftar Negatif Investasi (DNI), kini telah dibuka terhadap peran optimum investor asing dalam negeri. Liberalisasi perdagangan yang terjadi dan sedang berlangsung di era globalisasi dewasa ini merupakan salah satu faktor penyebabnya.
Sebagai contoh, Di bidang kesehatan, pemerintah akan membuka pintu bagi masuknya rumah sakit asing untuk berkompetisi dengan rumah sakit nasional, jika dulu rumah sakit asing hanya boleh di Medan dan Surabaya, maka nantinya boleh dibuka di seluruh Indonesia. Pernyataan ini diungkapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wiryawan (18/1/2010).
Tidak hanya itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa baru-baru ini menjelaskan, saat ini ada lima poin dalam draf DNI yang semula dibahas alot kini sudah menemukan titik temunya, diantara-Tiya staler kesehatan, pertanian, telekomunikasi informatika (kominfo), jasa sekuriti, dan aturan right issue saham perusahaan yang bidang usahanya masuk sektor yang dikategorikan DNI.
Hatta juga menegaskan, "Intinya, revisi DNI ini tidak restriktif (membatasi)," dan diharapkan "Revisi DNI ini bisa meng-encourage (mendorong) investasi," ujarnya setelah rapat koordinasi membahas DNI di Kantor Menko Perekonomian lampau (19/2/2010). Merupakan bukti betapa semakin meliberalnya perekonomian Indonesia terapili-asi dalam beberapa bentuk kerjasama bilateral, Regional, dan multilateral.
Dalam kaitan semakin meliberalnya perekonomian Indonesia tersebut, Esei Peri Umar Farouk mengatakan, suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata hukuman sich.
Oleh karena itu guna mencegah dampak negatif yang dapat timbul kemudian hari yang tidak saja merugikan para pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi itu sendiri, akan tetapi juga masyarakat Indonesia pada umumnya, akan jauh lebih baik jika pemerintah dalam merumuskan atau menetapkan setiap kebijakannya dalam arti sinkronisasi secara vertikal dan horizontal antar peraturan dan kepastian dalam penegakan (law enforcement) sangat dibutuhkan dalam pengembangan dunia usaha dengan melakukan pendekatan analisa ekonomi terhadap hukum (Economic Analysis of Law), demi untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan para pelaku usaha.
Analisa ekonomi atas hukum adalah suatu bahasan interdisi-pliner yang membawa secara bersama-sama dua bidang studi dan mengantarkan pada pengertian yang lebih mengenai dua bidang yaitu hukum dan ekonomi. Diperkenalkan pertama kali oleh Richard Allen Posner.
Menurut pendekatan ini, hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang penting. Untuk mengetahui pengaruh hukum terhadap tujuan-tujuan tersebut, maka pembuat undang-undang harus mempunyai metode untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh hukum terhadap nilai-nilai sosial.
Disisi lain para ekonom memperkirakan pengaruh dari suatu kebijakan terhadap efisiensi. Oleh karena efisiensi selalu relevan dengan pembuatan kebijakan, yaitu kebijakan yang berdaya guna serta berdaya saing. Berdaya guna ketika masyarakat luas dapat memetik hasil dari kebijakan itu sendiri yang ditandai dengan semakin meningkatnya perekonomian baik dalam skala makro maupun mikro, dan berkelanjutan.
Berdaya saing ketika pemerintah dapat memanfaatkan segala sumber daya yang ada dari keunggulan komparatif yang dimiliki menjadi keunggulan kompetitif dengan perpaduan beberapa keunggulan yang ada dan diadopsi dari negara lain.
Saya ambil contoh, pelaksanaan kebijakan yang menghilangkan atau menekan biaya produksi tinggi dan memilih biaya produksi dengan biaya rendah. Tentu hal ini akan jauh lebih menguntungkan bagi pemerintah, dengan cara mengundang atau membuka DNI bagi investor asing, yang dibarengi dengan kerjasama dibidang hukum khususnya dalam mengantisifasi segala akibat-akibat hukum yang mungkin timbul kemudian hari.
Selain itu, produksi biaya tinggi bagi industri negara berkembang merupakan masalah tersendiri yang belum teratasi hingga kini khususnya oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya tentu bisa dibayangkan akan menghambat daya saing pemasaran produksi itu sendiri dibandingkan dengan hasil produksi yang berasal dari negara competitor lainnya.
Disinilah letak strategi dan urgensi dari pengambilan dan perumusan setiap kebijakan ekonomi tersebut, yang diikuti dengan pembangunan bidang hukum, dengan tetap meletakkan kepentingan nasional sebagai hal yang utama dalam setiap proses sosio-politis yang terjadi dengan melibatkan par-tisifasi masyarakat, para pelaku bisnis, dan berbagai kalangan profesi terkait.
Selaras dengan penjabaran yang telah diuraikan sebelumnya, Prof. A.FK. Organski menyatakan bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modem menempuh pembangunanannya melalui tiga tahap pembangunan, yaitu unifikasi (unification), industrialisasi (industrialization), dan negara kesejahteraan (social welfare).
Pada tingkat pertama, yang menjadi masalah utama adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan umumnya memakan waktu relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi, industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.
Dalam kaitan dibukanya DNI sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan mengantisipasi dampak dari kebijakan tersebut langkah penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah menempatkan "pembangunan ekonomi negara berdampingan dengan pembangunan bidang hukum" sebagai misi strategis dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional di tengah globalisasi ekonomi yang sudah dan sedang berlangsung akhir-akhir ini.
Semakin baik dalam suatu negara hukum itu berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya, bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka semakin kecil pula tingkat kepastian hukumnya. Masalah lain yang juga perlu untuk diperhatikan mengenai pengawasan dan law enforcement. Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya.
Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu check and balance da lam bernegara. Hal itu pun hanya bisa dicapai dengan adanya parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya.
Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan law enforcement, dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai.
Mengacu pada tataran ide normatif dalam Rencana Pembangunan langka Panjang Nasional tahun 2005 - 2025, hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat membutuhkan dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika, organisasi yang kapabel dan berdaya guna, serta peradilan yang bebas dan berhasil guna.
Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling di butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia, terlebih terkait dengan beberapa kebijakan politik luar negeri Indonesia dibidang perekonomian dan perdagangan luar negeri.